Translate

Selasa, 26 Juni 2012

Eonni..


            

Langit cerah dengan awan biru yang menawan. Cuaca musim dingin kali ini sejuk tidak begitu ingin menusuk kulit. Menyegarkan hati yang lesu karena keadaan. Keadaan memang tak bisa dipilih. Ini memang yang telah Tuhan berikan padaku. Tak perlu disesali namun memang harus dijalani. Aku tak sendiri. Ada seseorang disampingku yag setia bersamaku. Disampingku setiap saat.
            Kami berdua bersama dari kami belum tau apapun sampai saat ini. Kami sebaya namun Ia lebih dewasa daripada aku. Walupun aku tidak bisa bersikap sebaik yang ia inginkan. Ia harus lebih keras lagi merawatku karena aku yang lemah ini. Tidak bisa kuat melawan penyakit yang aku derita.
            Kim Yu Na, saudara kembarku yang kuanggap sebagai kakak, ayah dan juga ibuku. Ia memang pendiam, namun hatinya baik. Sebening mutiara dilautan. Wajahku dan wajahnya hamper serupa. Namun, dia lebih cantik. Cantik tak harus dari bentuk tubuh atau wajah yang sempurna.
            Onni[1] cantik, manis, rambutnya panjang sepanjang punggung namun sedikit bergelombang. Matanya tidak kecil. Hidungnya mancung. Tubunhya semampai lebih tinggi daripada aku. Sebenarnya ia manis bila tersenyum namun sudah sangat lama aku tidak melihatnya tersenyum. Entah sejak kapan wajah cantinya tidak dihiasi senyum manisnya itu. Aku jadi teringat olehnya. Apa yang sedang ia lakukan sekarang.
            Kubuka pintu kamarku. Kulihat ia sedang duduk di taman belakang yang dihiasi pemandangan matahari terbenam yang kali ini terlihat setelah sekian hari selalu turun salju disore hari.
            “Onni,  sedang apa?” kataku mendekat padanya. Ditangannya sebuah buku. Namun segera ia menutup setelah kusapa. “Disini dingin.”
“Tidak. Masuklah. Akan kusiapkan makanan.” katanya datar. Onni memang seperti itu. Menjawab apapun dengan seadanya. Ia bicara pun seperlunya saja. Namun aku memaklumi saja.
Sementara itu aku tergoda untuk masuk ke kamar Onni. Kamarnya bersih, rapi dan sederhana. Meja belajar, almari, dan kasur yang terlihat disana. Kulihat buku hijau yang tadi Onni bawa di taman. Kubuka buku itu.  Ternyata buku Diarynya. Sudah terlanjur kubuka dan aku tahu isinya. Isinya semua tentang isi hatinya pada Yoo HHHHHhhaawahhhhhw
Hwan Oppa[2]. Rupanya Onni sangat mengaguminya. Yo Hwan Oppa memang murid yang pintar dan juga tambah wajahnya yang tampan. Ia adalah bagai seorang bintang di sekolah. Segera kututup buku itu dank u kembalika ketempat semula. Aku menghampiri Onni yang sedang asyik memasak itu. 
            “Onni, bolehkah ku membantumu? Onni membuat Janchi guksu[3] kan? Kubantu memotong  sayurnya.” aku mencoba memotong sayur –sayur. Onni masih asyik dengan memasaknya. “ Onni, kemarin Yoo Hwan Oppa lolos seleksi olimpiade lagi.” Ia menoleh sebentar padaku.
            “Lalu?” katanya datar tanpa mengalihkan konsentrasinya memasak.
            “Onni..”aku ragu mengatakannya padanya.
            “Apa?”katanya mendengar perkataanku yang terhenti.
            “Tidak.” Kuputuskan untuk menyimpannya sementara.
            Kami makan berdua di meja makan. Hanya keheningan yang tercipta di sini. Onni tak bicara apapun padaku. Aku juga tidak tahu apa yang harus kubicarakan padanya. Onni hanya mengambil sayur sedikit saja. Tangannya memegang sumpit dengan perlahan. Ia hanya mengisi nasi di mangkuk kecilnya.
            “Onni.., makanlah yang banyak. Makan sedikit mana bisa ada tenaga?” ia hanya memandangku sebentar saja.
            “Setelah selesai, jangan lupa minum obatmu.”katanya setelah mengusap bibirnya dengan sapu tangan. Ia pun beranjak dari tempat duduknya.
            “Ya, Onni.” hanya itu jawabku. Walaupun kenyataannya aku tak pernah meminumnya.
            Pagi ini kami berangkat sekolah bersama. Aku memang tidak sekelas denganku. Kelas kami berjarak jauh. Kami tidak terlalu sering bertemu. Sedangkan kelas Yoo Hwan Oppa lebih dekat ke kelasku. Kami sering bertemu di perpustakaan. Yoo Hwan Oppa sering mewakili sekolah kami dalam berbagai olimpiade. Tiba – tiba ia berada di meja sampingku di perpustakaan.
            “Anyeong, Kim Na Na.” katanya padaku.
            “Anyeong, Oppa.”aku hanya tersenyum. Pertamakali kami bertemu ketika seleksi olimpiade kemarin. Tapi selalu dia yang terpilih. Namun aku yakin ia dapat memberikan yang terbaik.
            “Bagaimana kabar saudaramu?”
            “Yu Na Onni? Kabarnya baik. Oppa selalu menanyakan kabarnya. Mengapa? Oppa tertarik pada Onni?.”kataku menggodanya.
            “Hah?.. apakah terlalu terlihat?” kataya malu. Tiba – tiba menjadi salah tingkah.
            “Aku tidak akan menghalangi. Jika ada yang bisa aku bantu aku akan membatu.” aku tersenyum. Oppa ikut membalas senyumku. Wajahnya msih telihat menyimpan rasa malu. Ia mengusap kepalaku. “Apa yang Oppa sukai dari Onni?”
            “Entahlah.., ketika aku melihatnya dia berbeda.”
            “Begitu, ya. Dia memang lebih baik daripada aku.”
            “Bukan seperti itu maksudku, aku..”
            “Iya. Memang Onni lebih baik daripada aku. Dia sangat keseiapian. Ditambah banyak beban yag harus ditanggungnya.”
            “Beban? Beban apa yang harus ditanggungnya?”
            “Dia harus menjadi ayah, ibu sekaligus kakak bagiku.”
            “Mianhae.. NaNa.” kataya karena merasa menumbuhkan kesedihanku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
            Sore ini bel tanda pulang berbunyi sudah. Murid – murid mulai berhamburan. Aku segera menuju kelas Onni. Berharap aku isa pulang bersamanya hari ini. Ternyata kau kalah cepat dengan Onni. Ia sudah pulang duluan lagi. Hanya pesan dari temannya yang aku terima supaya aku pulang sendiri memakai sepedanya.
            Rasa lelah mulai menghampiri diriku. Aku merasa sangat lelah. Kurebahkan diriku diatas sofa. Sebenarnya apa yang harus dilakukan Onni hingga akhir – akhir ini ia harus pulag terlambat. Aku beranjak menuju kamar Onni. Kembali kulihat isi diary onni. Onni sangat pandai menulis. Kata – katanya menyentuh hati. Namun aku tk tahu persis apa artinya. Namun kurasa tulisan – tulisan itu ia tujukan untuk kak Yo Hwan. Onni membuat prakarya yang bagus untuk tugas akhirnya. Sebuah teropong bintang berukuran kecil yang sangat cantik. Ia sungguh menyukai dunia astronomi.
            Namun aku sungguh lelah. Mataku berkunang – kunang. Sakit kepalaku mulai kambuh. Semakin sakit dan semakin sakit. Akhirnya aku tak kuat lagi. Aku terjatuh dan mengenai sesuatu. Membuat semua yang diatas meja jatuh berantakan. Samar – samar kulihat teropong cantik itu jatuh dan hancur berkeping – keping. Setelah itu pandanganku kabur hilang sudah bayangan didepanku.
            Kubuka mataku perlahan. Aku mencoba bangkit namun kepalaku masih terasa sakit. Kulihat dari jendela di luar sudah gelap dan turun salju. Aku sudah berada di atas kasur Onni, kukira Onni sudah pulang. Barang – barng yang tercecer di lantai sudah bersih. Aku jadi teringat bagaimana dengan karya Onni yang aku pecahkan. Kucari ia keluar kamar. Di teras depan ia berusaha memperbaiki teropong itu. Namun kulihat di wajahnya ada luka lebam. Apa yang  terjadi padanya.
            “Onni, apa yang terjadi padamu hingga wajahmu lebam seperti itu?” tanyaku penuh rasa khawatir. Aku tak tau mengapa aku mengucapkan itu bukannya meminta maaf terlebih dahulu. Onni berdiri memandangku dengan tatapan yang tidak biasa. Aku menjadi sedikit takut.
            “Mengapa kau tidak meminum obatnya?”katanya kemudian.
            “Jongmal mianhaeyo, onni..”
            “Sebenarnya apa yang kau perbuat ini?”katanya dengan nada suara yang mulai meninggi. Aku tidak berkata apapun.  
            “Mengapa kamu tidak meminum obatnya? Kau ingin sakitmu tambah parah? Atau sama sekali tidak mau sembuh? Kenapa? Kenapa tidak menjawab? Aku sudah susah payah membelikanmu obat, apa kau sama sekali tidak menghargaiku? Seenaknya kamu membuangnya di tempat sampah? Jadi selama ini kau membohongiku? Iya? Mengapa kau melakukannya?” katanya menjerit membentakku. Air matanya mulai menetes hingga membuatku menjadi tak karuan. Aku bingung apa yang harus kukatakan. Aku jadi ikut menangis.
            “Mianhae, onni. Jongmal mianhaesso.. . aku tidak bermaksud seperti itu hanya saja aku tidak mau merepotkan Onni. Aku tidak mau kecanduan obat, sehingga Onni harus terus memberiku obat. Bukankah obat itu sangat mahal? Aku tidak mau menyusahkanmu..”kataku dan berusaha menahan air mata yang terus saja ingin keluar.
            “Lalu, apa kau tidak berpikir kalau kau tambah sakit. Siapa yang akan merawatmu? Apa kau tidak pernah memikirkannya? Lihatlah! Apa yang telah kau perbuat karena kelalaianmu itu! Benda yang susah payah kubuat menjadi seperti ini? Apa kau tidak merasa kasihan padaku?” kali ini hatiku menjadi sangat kacau ditambah dinginnya malam ini karena hujan salju yang terus saja turun.
            “Maaf, Onni. Bukan maksudku seperti itu. Aku tidak sengaja memecahkannya. Akan kubantu memperbaikinya Onni.” kataku penuh dengan rasa penyesalan karena aku selalu saja membuat masalah bagi Onni. Aku semakin merasa bersalah karena membuat Onni menangis seperti ini.
            “Lalu mengapa kau juga membaca buku diaryku? Kau mau mempermalukanku, karena kau sudah tau kalau aku menyukainya dan ternyata kau yang lebih dekat dengannya?”
            “Kalau masalah itu bukan seperti itu Onni. Benar bukan seperti itu. Aku..” kata – kataku dipotong oleh Onni begitu saja.
            “Lalu seperti apa? Baiklah, kalau kau seperti itu. Aku sudah lelah denganmu..”Onni masuk meninggalkanku. Tapi ia mengunci pintunya. Aku berusaha mengetuknya namun tidak juga dibuka. Kupanggil – panggil dia namun tak ada jawaban juga.
Hawa dingin semakin menusuk tulang salju masih saja turun. Membuatku menggigil. Semua tubuhku gemetar.  Kepalaku tambah sakit dan semakin sakit. Tak terasa darah mengalir dari hidungku. Kemudian aku serasa melayang. Tidak merasaka apapun.
            Esok hari, salju sudah tidak turun lagi namun matahari hanya bersinar redup. Belum bisa mencairkan salju yang berceceran dimana – mana. Tiba – tiba aku sudah berada di tempat yang serba putih. Selang infuse menusuk di tanganku. Siapa yang membawaku kesini? Tak ada seseorang disini. Aku bosan dengan tempat seperti ini. Aku mencoba keluar mencari suasana segar. Benar saja taman belakang kamarku udaranya segar. Beberapa saat kemudian Yo Hwan Oppa dan Onni datang menghampiriku.
            “Yo Hwan Oppa.. Onni…”aku segera menghampiri Onni dan merengkuhnya. Aku terisak karena rasa bersalahku belum hilang sama sekali. “Onni maaf kan aku…” aku semakin terisak. Tak kusangka Onni mengelus punggungku. Aku merasa sangat bahagia. “Onni maaf…”
            “Iya. Sudahlah.” katanya terisak pula.
            Yo Hwan oppa cerita padaku kalau sebenarnya Yuna Onni sangat sayang padaku. Ternyata kemarin onni harus bekerja paruh waktu dan ketika pulang para penjahat disekitar tempat – tempat itu. Ia pun berkelahi dengan para penjahat. Yang membuat YoHwan oppa kagum adalah onni mampu mengalahkan mereka walaupun membuat banyak lebam di tubuhnya.
            Kemarin onni pun jadi sakit karena cuaca yang sedingin itu ditambah pula harus sakit karena diserang para penjahat itu. Ketika Yohwan oppa datang aku sudah tergeletak di teras dengan hidung yag penuh darah hingga ia tak berpikir pajang dan langsung membawaku ke rumah sakit. Sementara aku di sini, ia kembali untuk mencari Onni. Onni tersandar di belakang pintu dengan badan bersuhu tinggi dan gemetaran. Oppa mengangkatnya ke kamarnya, mengompresnya hingga panasnya turun. Keesokan harinya, ketika oppa terbangun, onni berlarian keluar rumah mencariku.
            “Nana!.... kau diman? Nana!”teriaknya sambil berlarian mencariku. Akhirnya oppa memberitahukan kalau ia membawaku kesini.
            “Begitukah, Oppa?”
            “ Tentu. Apakah aku terlihat berbohong?”
            “Jongmal kamsahamnida, oppa. Lalu sampai kapan oppa akan menyembunyikannya dari Onni?”
            “Apa?” oppa tersenyum. “Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya.”
            “ Oppa ini bagaiman? Apa perlu aku membantumu?”
            Kami merencanakan sesuatu untuk Yuna Onni. Oppa menyulap taman belakang rumah sakit ini menjadi taman yang indah dengang salju yang masih tersisa disana. Sore  ini juga rencana kami akan dilaksanakan. Aku membawa Onni ke taman. Oppa membawa hadiah besar untuk onni. Aku berharap aku akan bahagia malam ini.
            “Duduklah, Onni.” kupersilahkan onni duduk. Kulihat Onni begitu takjub atau heran atau bingung aku tak paham. Ia begitu penasaran untuk apa ia kesini.
            “Apa ini? Apakah taman ini diatur seperti ini?”
            “Tentu saja. Aku mempunyai kejutan untuk  Onni.” Yohwan oppa datang membawa hadiah besar itu.
            “Anyeong, Oppa.” sapaku gembira.
            “Anyeong, Nana, Yuna..” Yohwan oppa terlihat sangat tampan. Kulihat onni pun terkesan padanya. Oppa mendekat pada onni.
            “Yuna… ini hadiah untukmu.” Oppa memberikan hadiah itu pada onni. Namun Onni hanya membukanya dan meraba teropong pemberian oppa. Kuharap aku dapat melihat senyum onni hari ini.
            “Yuna. Kau tidak menyukai hadiah ini?”
            “Tidak.”
            “Lalu, kulihat kau sama sekali tidak senang.”
            “Tidak.”
            “Tidakkah? Yuna.. kau tau kau adalah wanita yang paling istimewa yang pernah kutemui. Kau pendiam namun penuh warna dalm dirimu, kau jarang tertawa bahkan tersenyum, namun kau membuatku terpesona.. kau begitu dewasa menghadapi semuanya. Kau sangat cantik, kau tau aku sangat menyukaimu.” kata oppa penuh perasaan. Onni hanya terdiam tak memberikan ekspresi apapun. Hanya memandang oppa.
            “Terimakasih.” hanya itu yag terucap dari mulut onni.
            Onni benar – benar tidak memberikan jawaba yang berarti. Aku mencoba mencuri perhatiannya dengan bermain salju. Kulempar salju itu kepada oppa. Sebaliknya oppa melemparnya padaku. Aku melempar pada onni. Hingga kami saling melempar. Akhirnya onni tertawa ketika oppa terjatuh masuk keselokan setelah kulempar salju. Aku dan oppa sangat terkesan melihat senyum onni. Aku sangat bahagia bisa melihat senyum onni kembali.
            “Yuna… kau tersenyum? Ayo tersenyum lagi..”kata oppa menggodanya. Mereka bergembira saling bermain salju. Karena terlalu bahagianya diriku, aku menitkkan air mata. Aku sangat bahagia bisa melihat senyum onni lagi. Melihat onni senang. Dan juga melihat onni bersama pujaan hatinya.
            Onni… aku berharap onni jangan bersedih lagi. Tersenyumlah selalu onni. Aku sangat bahagia melihatmu tersenyum. Senyummu membawa kebahagiaan. Aku tidak akan membebanimu lagi. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi. Kumohon onni kembali seperti onni dahulu yang ceria dan penuh tawa…
            Onni.. jangan khawatir ada Yo hwan oppa disampingmu. Aku harap ia bisa member kebahagiaan untukmu. Bisa menghangatkan kembali hatimu. Onni.. maafkan aku selama ini. Aku telah menyita kebahagiaanmu. Membuatmu rela bekerja keras untukku. Terima kasih Onni.. kau adalah kakak terbaik untukku…
            Aku terduduk lemah di kursi taman itu. Sayup – sayup ku dengar canda tawa mereka. Samar – samar kulihat senyum onni yang masih menghiasi wajahnya sampai saat ini. Sungguh aku sangat bahagia. Hingga ku seperti melayang tinggi. Semakin lama semakin tinggi hingga kulihat tubuhku dibawah tersenyum memancarkan kebahagiaan. 



[1] Kakak perempuan dalam bahasa Korea.
[2] Panggilan untuk senior/kakak kelas dalam bahsa Korea.
[3] mie yang disajikan dengan rumput laut, kimchi, telur dan sayuran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar