Translate

Jumat, 28 Desember 2012


Tanyakan Pada Dirimu

Tahukah kamu?
Siapa dirimu?
Siapa yang menciptakanmu?

Tahukah kamu tujuan engkau diciptakan?
Untuk apa hidupmu kan berjalan?
Apakah seperti kaki tak bertuan?
Atau melangkah berpegang tali aturan?
Atau layang – layang terlepas dari pegangan?

Lalu,
Mengapa engkau mengikuti simpangan?
Jalan mulus tanpa penerangan
Kemanakah tali pedomanmu?
Apa kau buang bak barang rongsokan?
Atau kau simpan tanpa sentuhan tangan?

Menurutmu itu bahagia?
Atau anggapan beginilah seharusnya hidup?
Hidup yang jauh tak berpedoman
Yang ada hanya angan, angan, dan angan

Duniamu adalah segalanya bagimu?
Bahkan melebihi harga dirimu?
Kau gadaikan harga dirimu demi hawa nafsumu?
Dan akhirnya kamu menyangka
Ya, aku adalah orang yang terbahagia

Apa kau tahu?
Babak hidupmu tak berhenti setelah mati?
Dan lebih berarti dari keadaanmu sekarang ini?
Babak hidup yang lebih hakiki

Sungguh ironis
Kini malumu telah luntur
Apa akhirnya kau akan memebuat negeri kita ini hancur?

Ingatlah
Tuhan ada di sana
Menantimu kembali
Dengan wajah bercahaya
Atau
Meragkak dengan hina 


Sabtu, 17 November 2012


Makhluk - Makhluk Kecil
Chan adalah seekor anak semut yang belum lama dilahirkan. Namun dia harus berjuang karena terlahir ditempat yang dilanda kekeringan tanpa ada bahan makanan. Banyak diantara penduduk yang akhirnya mati karena bencana ini.
Suatu saat salah seorang dari pasukan raja yang memimpin mereka memberikan berita bahwa di sebuah tempat yang berada di beberapa mil sebelah timur dari tempat ini terdapat sumber madu yang sangat melimpah. Hingga akhirnya sang raja memerintahkan rakyatnya untuk bersama – sama berkelana mencari tempat itu.
Chan bimbang apakah harus mengikuti teman – temannya ataukah tetap bertahan disini bersama ibunya yag sedang sakit. Apabila ia ikut pergi bersama teman – temannya ia takut terjadi sesuatu pada ibunya. Namun bila ia ikut pergi bersama mereka ia harus rela meninggalkan ibunya di sisni untuk beberapa waktu. Akhirnya ia putuskan untuk ikut pergi bersama teman – temannya
Setelah beberapa waktu lamanya mereka berjalan melewati bukit terjal dan tanah tandus yang sangat panas dan kering, sampailah mereka di tempat yang dituju. Ternyata madu itu berada di tebing yang sangat tinggi di seberang tempat mereka berdiri sekarang. Dibawanya terdapat laut yang dalam.
Chan memberikan ide pada sang raja untuk memberi jembatan antara kedua tebing itu. Mereka pun bergotong royong membuat jembatan dari batang kayu. Setelah selesai membuat jembatan , satu persatu dari merea melewati jembatan tersebut dengan saling berpegangan. Namun ternyata jembatan itu tidak kuat menahan beban mereka yang banyak. Jembatan itupun jatuh ke lautan. Mereka terlempar saling berpegangan. Beruntungnya, Chan yang pertamakali sampai di tebing seberang langsung meraih tangan temannya yang ada dibelakangnya. Pelan-pelan mereka ditarik keatas. Akhirnya mereka berhasil selamat dan kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari madu yang mereka cari.  
Ternyata halangan yang harus mereka lalui belum berhenti. Terjadi hujan yang beracun. Mereka menduga bahwa ini adalah ulah dari makhluk – makhluk yang lebih besar itu. Mereka menganggap makhluk – makhluk seperti Chan adalah musuh mereka. Diantara mereka banyak yang mati karena hujan badai itu. Hanya tersisa Chan dan beberapa orang temannya. Mereka terus berjuang dan akhirnya mereka menemukan sumber madu itu. Mereka mengambilnya dan tidak lupa memberi persediaan bagi teman – temannya dan Ibunya yang sedang sakit. Akhirnya mereka dapat kembali dengan selamat danIbunya Chan dapat sehat kembali.

Senin, 24 September 2012




kuncup di pojok taman
ia terdiam
sendiri

sejauh mata memandang,
pancaran cantiknya selalu menerpa 
lalu, apakah ada yang memandangnya kini?

kini kuncup itu tertusuk duri
menancap dalam seberapa sakitnya
satu persatu duri menerpa
sekuat tenaga ia melepasnya
namun, entah mengapa
semakin banyak duri dan semakin tajam menerpanya
betapa sakitnya hatimu, kuncupku. ..

ia menangis,
lukamu begitu dalam
sungguh betapa sesaknya hatimu saat ini?
tiadakah yang menghapuskannya?
dimana pengobat lukamu?
senandainya ada yang tau betapa luka hatimu...

ada yang memandangmu kuncupku
namun, ia tak tahu jika kau terluka
sama saja
hanya pemandang sekejap
kau hanya kuncup
didepanmu ia memandang yang lain
sama saja
jika layaknya juga duri

namun, ingatlah kuncupku. . .
kau cantik hatimu
kau hebat dengan kekuatanmu menahan lukamu
kau tangguh karena dapat menjaga hatimu

dan...
ingatlah kuncupku.
penciptamu tak akan rela 
melihatmu menangis karena luka.

Kamis, 20 September 2012

Kisah Gadis Kecil Yang Shalihah

Kisah Gadis Kecil Yang Shalihah
Kisah Wanita Shalihah | admin kisah islam | February 3, 2012 20:13

Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.

Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:

Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.

Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.

Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma’ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.

Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.

Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:

Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: “Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!”

Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: “Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam.” Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.

Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.

Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?

Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: “Sakit ringan di kakiku.” Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: “Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah.” Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.

Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.

Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: “Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah.” Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: “Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku.”

Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!

Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!

Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.

Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: “Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku.”

Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: “Apakah engkau seorang muslimah?” Dia menjawab: “Tidak.”

Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.

Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.

Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?” Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: “Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna.” Temanku tersebut berkata: “Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati.”

Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!

Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.

Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu` dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!

Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.

Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.

Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: “Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat.” Kukatakan: “(Mimpi) yang baik Insya Allah.” Dia berkata: “Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi.”

Akupun bertanya kepadanya: “Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut.” Dia menjawab: “Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku.” Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.

Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: “Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu.” Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: “Aku ingin mencium pipimu yang kedua.” Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: “Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah.”

Maka dia berkata: “Asyhadu alla ilaaha illallah.”

Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallaah.” Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.” Dan keluarlah rohnya.

Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil ‘aalamin. (AR)*

[Sumber: www.qiblati.com, dinukil dari Majalah Qiblati edisi 4 Tahun 3]

Selasa, 26 Juni 2012

Eonni..


            

Langit cerah dengan awan biru yang menawan. Cuaca musim dingin kali ini sejuk tidak begitu ingin menusuk kulit. Menyegarkan hati yang lesu karena keadaan. Keadaan memang tak bisa dipilih. Ini memang yang telah Tuhan berikan padaku. Tak perlu disesali namun memang harus dijalani. Aku tak sendiri. Ada seseorang disampingku yag setia bersamaku. Disampingku setiap saat.
            Kami berdua bersama dari kami belum tau apapun sampai saat ini. Kami sebaya namun Ia lebih dewasa daripada aku. Walupun aku tidak bisa bersikap sebaik yang ia inginkan. Ia harus lebih keras lagi merawatku karena aku yang lemah ini. Tidak bisa kuat melawan penyakit yang aku derita.
            Kim Yu Na, saudara kembarku yang kuanggap sebagai kakak, ayah dan juga ibuku. Ia memang pendiam, namun hatinya baik. Sebening mutiara dilautan. Wajahku dan wajahnya hamper serupa. Namun, dia lebih cantik. Cantik tak harus dari bentuk tubuh atau wajah yang sempurna.
            Onni[1] cantik, manis, rambutnya panjang sepanjang punggung namun sedikit bergelombang. Matanya tidak kecil. Hidungnya mancung. Tubunhya semampai lebih tinggi daripada aku. Sebenarnya ia manis bila tersenyum namun sudah sangat lama aku tidak melihatnya tersenyum. Entah sejak kapan wajah cantinya tidak dihiasi senyum manisnya itu. Aku jadi teringat olehnya. Apa yang sedang ia lakukan sekarang.
            Kubuka pintu kamarku. Kulihat ia sedang duduk di taman belakang yang dihiasi pemandangan matahari terbenam yang kali ini terlihat setelah sekian hari selalu turun salju disore hari.
            “Onni,  sedang apa?” kataku mendekat padanya. Ditangannya sebuah buku. Namun segera ia menutup setelah kusapa. “Disini dingin.”
“Tidak. Masuklah. Akan kusiapkan makanan.” katanya datar. Onni memang seperti itu. Menjawab apapun dengan seadanya. Ia bicara pun seperlunya saja. Namun aku memaklumi saja.
Sementara itu aku tergoda untuk masuk ke kamar Onni. Kamarnya bersih, rapi dan sederhana. Meja belajar, almari, dan kasur yang terlihat disana. Kulihat buku hijau yang tadi Onni bawa di taman. Kubuka buku itu.  Ternyata buku Diarynya. Sudah terlanjur kubuka dan aku tahu isinya. Isinya semua tentang isi hatinya pada Yoo HHHHHhhaawahhhhhw
Hwan Oppa[2]. Rupanya Onni sangat mengaguminya. Yo Hwan Oppa memang murid yang pintar dan juga tambah wajahnya yang tampan. Ia adalah bagai seorang bintang di sekolah. Segera kututup buku itu dank u kembalika ketempat semula. Aku menghampiri Onni yang sedang asyik memasak itu. 
            “Onni, bolehkah ku membantumu? Onni membuat Janchi guksu[3] kan? Kubantu memotong  sayurnya.” aku mencoba memotong sayur –sayur. Onni masih asyik dengan memasaknya. “ Onni, kemarin Yoo Hwan Oppa lolos seleksi olimpiade lagi.” Ia menoleh sebentar padaku.
            “Lalu?” katanya datar tanpa mengalihkan konsentrasinya memasak.
            “Onni..”aku ragu mengatakannya padanya.
            “Apa?”katanya mendengar perkataanku yang terhenti.
            “Tidak.” Kuputuskan untuk menyimpannya sementara.
            Kami makan berdua di meja makan. Hanya keheningan yang tercipta di sini. Onni tak bicara apapun padaku. Aku juga tidak tahu apa yang harus kubicarakan padanya. Onni hanya mengambil sayur sedikit saja. Tangannya memegang sumpit dengan perlahan. Ia hanya mengisi nasi di mangkuk kecilnya.
            “Onni.., makanlah yang banyak. Makan sedikit mana bisa ada tenaga?” ia hanya memandangku sebentar saja.
            “Setelah selesai, jangan lupa minum obatmu.”katanya setelah mengusap bibirnya dengan sapu tangan. Ia pun beranjak dari tempat duduknya.
            “Ya, Onni.” hanya itu jawabku. Walaupun kenyataannya aku tak pernah meminumnya.
            Pagi ini kami berangkat sekolah bersama. Aku memang tidak sekelas denganku. Kelas kami berjarak jauh. Kami tidak terlalu sering bertemu. Sedangkan kelas Yoo Hwan Oppa lebih dekat ke kelasku. Kami sering bertemu di perpustakaan. Yoo Hwan Oppa sering mewakili sekolah kami dalam berbagai olimpiade. Tiba – tiba ia berada di meja sampingku di perpustakaan.
            “Anyeong, Kim Na Na.” katanya padaku.
            “Anyeong, Oppa.”aku hanya tersenyum. Pertamakali kami bertemu ketika seleksi olimpiade kemarin. Tapi selalu dia yang terpilih. Namun aku yakin ia dapat memberikan yang terbaik.
            “Bagaimana kabar saudaramu?”
            “Yu Na Onni? Kabarnya baik. Oppa selalu menanyakan kabarnya. Mengapa? Oppa tertarik pada Onni?.”kataku menggodanya.
            “Hah?.. apakah terlalu terlihat?” kataya malu. Tiba – tiba menjadi salah tingkah.
            “Aku tidak akan menghalangi. Jika ada yang bisa aku bantu aku akan membatu.” aku tersenyum. Oppa ikut membalas senyumku. Wajahnya msih telihat menyimpan rasa malu. Ia mengusap kepalaku. “Apa yang Oppa sukai dari Onni?”
            “Entahlah.., ketika aku melihatnya dia berbeda.”
            “Begitu, ya. Dia memang lebih baik daripada aku.”
            “Bukan seperti itu maksudku, aku..”
            “Iya. Memang Onni lebih baik daripada aku. Dia sangat keseiapian. Ditambah banyak beban yag harus ditanggungnya.”
            “Beban? Beban apa yang harus ditanggungnya?”
            “Dia harus menjadi ayah, ibu sekaligus kakak bagiku.”
            “Mianhae.. NaNa.” kataya karena merasa menumbuhkan kesedihanku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
            Sore ini bel tanda pulang berbunyi sudah. Murid – murid mulai berhamburan. Aku segera menuju kelas Onni. Berharap aku isa pulang bersamanya hari ini. Ternyata kau kalah cepat dengan Onni. Ia sudah pulang duluan lagi. Hanya pesan dari temannya yang aku terima supaya aku pulang sendiri memakai sepedanya.
            Rasa lelah mulai menghampiri diriku. Aku merasa sangat lelah. Kurebahkan diriku diatas sofa. Sebenarnya apa yang harus dilakukan Onni hingga akhir – akhir ini ia harus pulag terlambat. Aku beranjak menuju kamar Onni. Kembali kulihat isi diary onni. Onni sangat pandai menulis. Kata – katanya menyentuh hati. Namun aku tk tahu persis apa artinya. Namun kurasa tulisan – tulisan itu ia tujukan untuk kak Yo Hwan. Onni membuat prakarya yang bagus untuk tugas akhirnya. Sebuah teropong bintang berukuran kecil yang sangat cantik. Ia sungguh menyukai dunia astronomi.
            Namun aku sungguh lelah. Mataku berkunang – kunang. Sakit kepalaku mulai kambuh. Semakin sakit dan semakin sakit. Akhirnya aku tak kuat lagi. Aku terjatuh dan mengenai sesuatu. Membuat semua yang diatas meja jatuh berantakan. Samar – samar kulihat teropong cantik itu jatuh dan hancur berkeping – keping. Setelah itu pandanganku kabur hilang sudah bayangan didepanku.
            Kubuka mataku perlahan. Aku mencoba bangkit namun kepalaku masih terasa sakit. Kulihat dari jendela di luar sudah gelap dan turun salju. Aku sudah berada di atas kasur Onni, kukira Onni sudah pulang. Barang – barng yang tercecer di lantai sudah bersih. Aku jadi teringat bagaimana dengan karya Onni yang aku pecahkan. Kucari ia keluar kamar. Di teras depan ia berusaha memperbaiki teropong itu. Namun kulihat di wajahnya ada luka lebam. Apa yang  terjadi padanya.
            “Onni, apa yang terjadi padamu hingga wajahmu lebam seperti itu?” tanyaku penuh rasa khawatir. Aku tak tau mengapa aku mengucapkan itu bukannya meminta maaf terlebih dahulu. Onni berdiri memandangku dengan tatapan yang tidak biasa. Aku menjadi sedikit takut.
            “Mengapa kau tidak meminum obatnya?”katanya kemudian.
            “Jongmal mianhaeyo, onni..”
            “Sebenarnya apa yang kau perbuat ini?”katanya dengan nada suara yang mulai meninggi. Aku tidak berkata apapun.  
            “Mengapa kamu tidak meminum obatnya? Kau ingin sakitmu tambah parah? Atau sama sekali tidak mau sembuh? Kenapa? Kenapa tidak menjawab? Aku sudah susah payah membelikanmu obat, apa kau sama sekali tidak menghargaiku? Seenaknya kamu membuangnya di tempat sampah? Jadi selama ini kau membohongiku? Iya? Mengapa kau melakukannya?” katanya menjerit membentakku. Air matanya mulai menetes hingga membuatku menjadi tak karuan. Aku bingung apa yang harus kukatakan. Aku jadi ikut menangis.
            “Mianhae, onni. Jongmal mianhaesso.. . aku tidak bermaksud seperti itu hanya saja aku tidak mau merepotkan Onni. Aku tidak mau kecanduan obat, sehingga Onni harus terus memberiku obat. Bukankah obat itu sangat mahal? Aku tidak mau menyusahkanmu..”kataku dan berusaha menahan air mata yang terus saja ingin keluar.
            “Lalu, apa kau tidak berpikir kalau kau tambah sakit. Siapa yang akan merawatmu? Apa kau tidak pernah memikirkannya? Lihatlah! Apa yang telah kau perbuat karena kelalaianmu itu! Benda yang susah payah kubuat menjadi seperti ini? Apa kau tidak merasa kasihan padaku?” kali ini hatiku menjadi sangat kacau ditambah dinginnya malam ini karena hujan salju yang terus saja turun.
            “Maaf, Onni. Bukan maksudku seperti itu. Aku tidak sengaja memecahkannya. Akan kubantu memperbaikinya Onni.” kataku penuh dengan rasa penyesalan karena aku selalu saja membuat masalah bagi Onni. Aku semakin merasa bersalah karena membuat Onni menangis seperti ini.
            “Lalu mengapa kau juga membaca buku diaryku? Kau mau mempermalukanku, karena kau sudah tau kalau aku menyukainya dan ternyata kau yang lebih dekat dengannya?”
            “Kalau masalah itu bukan seperti itu Onni. Benar bukan seperti itu. Aku..” kata – kataku dipotong oleh Onni begitu saja.
            “Lalu seperti apa? Baiklah, kalau kau seperti itu. Aku sudah lelah denganmu..”Onni masuk meninggalkanku. Tapi ia mengunci pintunya. Aku berusaha mengetuknya namun tidak juga dibuka. Kupanggil – panggil dia namun tak ada jawaban juga.
Hawa dingin semakin menusuk tulang salju masih saja turun. Membuatku menggigil. Semua tubuhku gemetar.  Kepalaku tambah sakit dan semakin sakit. Tak terasa darah mengalir dari hidungku. Kemudian aku serasa melayang. Tidak merasaka apapun.
            Esok hari, salju sudah tidak turun lagi namun matahari hanya bersinar redup. Belum bisa mencairkan salju yang berceceran dimana – mana. Tiba – tiba aku sudah berada di tempat yang serba putih. Selang infuse menusuk di tanganku. Siapa yang membawaku kesini? Tak ada seseorang disini. Aku bosan dengan tempat seperti ini. Aku mencoba keluar mencari suasana segar. Benar saja taman belakang kamarku udaranya segar. Beberapa saat kemudian Yo Hwan Oppa dan Onni datang menghampiriku.
            “Yo Hwan Oppa.. Onni…”aku segera menghampiri Onni dan merengkuhnya. Aku terisak karena rasa bersalahku belum hilang sama sekali. “Onni maaf kan aku…” aku semakin terisak. Tak kusangka Onni mengelus punggungku. Aku merasa sangat bahagia. “Onni maaf…”
            “Iya. Sudahlah.” katanya terisak pula.
            Yo Hwan oppa cerita padaku kalau sebenarnya Yuna Onni sangat sayang padaku. Ternyata kemarin onni harus bekerja paruh waktu dan ketika pulang para penjahat disekitar tempat – tempat itu. Ia pun berkelahi dengan para penjahat. Yang membuat YoHwan oppa kagum adalah onni mampu mengalahkan mereka walaupun membuat banyak lebam di tubuhnya.
            Kemarin onni pun jadi sakit karena cuaca yang sedingin itu ditambah pula harus sakit karena diserang para penjahat itu. Ketika Yohwan oppa datang aku sudah tergeletak di teras dengan hidung yag penuh darah hingga ia tak berpikir pajang dan langsung membawaku ke rumah sakit. Sementara aku di sini, ia kembali untuk mencari Onni. Onni tersandar di belakang pintu dengan badan bersuhu tinggi dan gemetaran. Oppa mengangkatnya ke kamarnya, mengompresnya hingga panasnya turun. Keesokan harinya, ketika oppa terbangun, onni berlarian keluar rumah mencariku.
            “Nana!.... kau diman? Nana!”teriaknya sambil berlarian mencariku. Akhirnya oppa memberitahukan kalau ia membawaku kesini.
            “Begitukah, Oppa?”
            “ Tentu. Apakah aku terlihat berbohong?”
            “Jongmal kamsahamnida, oppa. Lalu sampai kapan oppa akan menyembunyikannya dari Onni?”
            “Apa?” oppa tersenyum. “Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya.”
            “ Oppa ini bagaiman? Apa perlu aku membantumu?”
            Kami merencanakan sesuatu untuk Yuna Onni. Oppa menyulap taman belakang rumah sakit ini menjadi taman yang indah dengang salju yang masih tersisa disana. Sore  ini juga rencana kami akan dilaksanakan. Aku membawa Onni ke taman. Oppa membawa hadiah besar untuk onni. Aku berharap aku akan bahagia malam ini.
            “Duduklah, Onni.” kupersilahkan onni duduk. Kulihat Onni begitu takjub atau heran atau bingung aku tak paham. Ia begitu penasaran untuk apa ia kesini.
            “Apa ini? Apakah taman ini diatur seperti ini?”
            “Tentu saja. Aku mempunyai kejutan untuk  Onni.” Yohwan oppa datang membawa hadiah besar itu.
            “Anyeong, Oppa.” sapaku gembira.
            “Anyeong, Nana, Yuna..” Yohwan oppa terlihat sangat tampan. Kulihat onni pun terkesan padanya. Oppa mendekat pada onni.
            “Yuna… ini hadiah untukmu.” Oppa memberikan hadiah itu pada onni. Namun Onni hanya membukanya dan meraba teropong pemberian oppa. Kuharap aku dapat melihat senyum onni hari ini.
            “Yuna. Kau tidak menyukai hadiah ini?”
            “Tidak.”
            “Lalu, kulihat kau sama sekali tidak senang.”
            “Tidak.”
            “Tidakkah? Yuna.. kau tau kau adalah wanita yang paling istimewa yang pernah kutemui. Kau pendiam namun penuh warna dalm dirimu, kau jarang tertawa bahkan tersenyum, namun kau membuatku terpesona.. kau begitu dewasa menghadapi semuanya. Kau sangat cantik, kau tau aku sangat menyukaimu.” kata oppa penuh perasaan. Onni hanya terdiam tak memberikan ekspresi apapun. Hanya memandang oppa.
            “Terimakasih.” hanya itu yag terucap dari mulut onni.
            Onni benar – benar tidak memberikan jawaba yang berarti. Aku mencoba mencuri perhatiannya dengan bermain salju. Kulempar salju itu kepada oppa. Sebaliknya oppa melemparnya padaku. Aku melempar pada onni. Hingga kami saling melempar. Akhirnya onni tertawa ketika oppa terjatuh masuk keselokan setelah kulempar salju. Aku dan oppa sangat terkesan melihat senyum onni. Aku sangat bahagia bisa melihat senyum onni kembali.
            “Yuna… kau tersenyum? Ayo tersenyum lagi..”kata oppa menggodanya. Mereka bergembira saling bermain salju. Karena terlalu bahagianya diriku, aku menitkkan air mata. Aku sangat bahagia bisa melihat senyum onni lagi. Melihat onni senang. Dan juga melihat onni bersama pujaan hatinya.
            Onni… aku berharap onni jangan bersedih lagi. Tersenyumlah selalu onni. Aku sangat bahagia melihatmu tersenyum. Senyummu membawa kebahagiaan. Aku tidak akan membebanimu lagi. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi. Kumohon onni kembali seperti onni dahulu yang ceria dan penuh tawa…
            Onni.. jangan khawatir ada Yo hwan oppa disampingmu. Aku harap ia bisa member kebahagiaan untukmu. Bisa menghangatkan kembali hatimu. Onni.. maafkan aku selama ini. Aku telah menyita kebahagiaanmu. Membuatmu rela bekerja keras untukku. Terima kasih Onni.. kau adalah kakak terbaik untukku…
            Aku terduduk lemah di kursi taman itu. Sayup – sayup ku dengar canda tawa mereka. Samar – samar kulihat senyum onni yang masih menghiasi wajahnya sampai saat ini. Sungguh aku sangat bahagia. Hingga ku seperti melayang tinggi. Semakin lama semakin tinggi hingga kulihat tubuhku dibawah tersenyum memancarkan kebahagiaan. 



[1] Kakak perempuan dalam bahasa Korea.
[2] Panggilan untuk senior/kakak kelas dalam bahsa Korea.
[3] mie yang disajikan dengan rumput laut, kimchi, telur dan sayuran