Langit
cerah dengan awan biru yang menawan. Cuaca musim dingin kali ini sejuk tidak
begitu ingin menusuk kulit. Menyegarkan hati yang lesu karena keadaan. Keadaan
memang tak bisa dipilih. Ini memang yang telah Tuhan berikan padaku. Tak perlu
disesali namun memang harus dijalani. Aku tak sendiri. Ada seseorang
disampingku yag setia bersamaku. Disampingku setiap saat.
Kami
berdua bersama dari kami belum tau apapun sampai saat ini. Kami sebaya namun Ia
lebih dewasa daripada aku. Walupun aku tidak bisa bersikap sebaik yang ia
inginkan. Ia harus lebih keras lagi merawatku karena aku yang lemah ini. Tidak
bisa kuat melawan penyakit yang aku derita.
Kim
Yu Na, saudara kembarku yang kuanggap sebagai kakak, ayah dan juga ibuku. Ia
memang pendiam, namun hatinya baik. Sebening mutiara dilautan. Wajahku dan
wajahnya hamper serupa. Namun, dia lebih cantik. Cantik tak harus dari bentuk
tubuh atau wajah yang sempurna.
Onni
cantik, manis, rambutnya panjang sepanjang punggung namun sedikit bergelombang.
Matanya tidak kecil. Hidungnya mancung. Tubunhya semampai lebih tinggi daripada
aku. Sebenarnya ia manis bila tersenyum namun sudah sangat lama aku tidak
melihatnya tersenyum. Entah sejak kapan wajah cantinya tidak dihiasi senyum
manisnya itu. Aku jadi teringat olehnya. Apa yang sedang ia lakukan sekarang.
Kubuka
pintu kamarku. Kulihat ia sedang duduk di taman belakang yang dihiasi
pemandangan matahari terbenam yang kali ini terlihat setelah sekian hari selalu
turun salju disore hari.
“Onni, sedang apa?” kataku mendekat padanya.
Ditangannya sebuah buku. Namun segera ia menutup setelah kusapa. “Disini
dingin.”
“Tidak. Masuklah. Akan kusiapkan
makanan.” katanya datar. Onni memang seperti itu. Menjawab apapun dengan
seadanya. Ia bicara pun seperlunya saja. Namun aku memaklumi saja.
Sementara itu aku tergoda untuk
masuk ke kamar Onni. Kamarnya bersih, rapi dan sederhana. Meja belajar, almari,
dan kasur yang terlihat disana. Kulihat buku hijau yang tadi Onni bawa di
taman. Kubuka buku itu. Ternyata buku
Diarynya. Sudah terlanjur kubuka dan aku tahu isinya. Isinya semua tentang isi
hatinya pada Yoo HHHHHhhaawahhhhhw
Hwan Oppa.
Rupanya Onni sangat mengaguminya. Yo Hwan Oppa memang murid yang pintar dan
juga tambah wajahnya yang tampan. Ia adalah bagai seorang bintang di sekolah.
Segera kututup buku itu dank u kembalika ketempat semula. Aku menghampiri Onni
yang sedang asyik memasak itu.
“Onni,
bolehkah ku membantumu? Onni membuat Janchi guksu kan? Kubantu
memotong sayurnya.” aku mencoba memotong
sayur –sayur. Onni masih asyik dengan memasaknya. “ Onni, kemarin Yoo Hwan Oppa
lolos seleksi olimpiade lagi.” Ia menoleh sebentar padaku.
“Lalu?” katanya datar tanpa
mengalihkan konsentrasinya memasak.
“Onni..”aku ragu mengatakannya
padanya.
“Apa?”katanya mendengar perkataanku
yang terhenti.
“Tidak.” Kuputuskan untuk
menyimpannya sementara.
Kami makan berdua di meja makan.
Hanya keheningan yang tercipta di sini. Onni tak bicara apapun padaku. Aku juga
tidak tahu apa yang harus kubicarakan padanya. Onni hanya mengambil sayur
sedikit saja. Tangannya memegang sumpit dengan perlahan. Ia hanya mengisi nasi
di mangkuk kecilnya.
“Onni.., makanlah yang banyak. Makan
sedikit mana bisa ada tenaga?” ia hanya memandangku sebentar saja.
“Setelah selesai, jangan lupa minum
obatmu.”katanya setelah mengusap bibirnya dengan sapu tangan. Ia pun beranjak
dari tempat duduknya.
“Ya, Onni.” hanya itu jawabku.
Walaupun kenyataannya aku tak pernah meminumnya.
Pagi ini kami berangkat sekolah
bersama. Aku memang tidak sekelas denganku. Kelas kami berjarak jauh. Kami
tidak terlalu sering bertemu. Sedangkan kelas Yoo Hwan Oppa lebih dekat ke
kelasku. Kami sering bertemu di perpustakaan. Yoo Hwan Oppa sering mewakili
sekolah kami dalam berbagai olimpiade. Tiba – tiba ia berada di meja sampingku
di perpustakaan.
“Anyeong, Kim Na Na.” katanya
padaku.
“Anyeong, Oppa.”aku hanya tersenyum.
Pertamakali kami bertemu ketika seleksi olimpiade kemarin. Tapi selalu dia yang
terpilih. Namun aku yakin ia dapat memberikan yang terbaik.
“Bagaimana kabar saudaramu?”
“Yu Na Onni? Kabarnya baik. Oppa
selalu menanyakan kabarnya. Mengapa? Oppa tertarik pada Onni?.”kataku
menggodanya.
“Hah?.. apakah terlalu terlihat?”
kataya malu. Tiba – tiba menjadi salah tingkah.
“Aku tidak akan menghalangi. Jika
ada yang bisa aku bantu aku akan membatu.” aku tersenyum. Oppa ikut membalas
senyumku. Wajahnya msih telihat menyimpan rasa malu. Ia mengusap kepalaku. “Apa
yang Oppa sukai dari Onni?”
“Entahlah.., ketika aku melihatnya dia
berbeda.”
“Begitu, ya. Dia memang lebih baik
daripada aku.”
“Bukan seperti itu maksudku, aku..”
“Iya. Memang Onni lebih baik
daripada aku. Dia sangat keseiapian. Ditambah banyak beban yag harus
ditanggungnya.”
“Beban? Beban apa yang harus
ditanggungnya?”
“Dia harus menjadi ayah, ibu
sekaligus kakak bagiku.”
“Mianhae.. NaNa.” kataya karena
merasa menumbuhkan kesedihanku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Sore ini bel tanda pulang berbunyi
sudah. Murid – murid mulai berhamburan. Aku segera menuju kelas Onni. Berharap
aku isa pulang bersamanya hari ini. Ternyata kau kalah cepat dengan Onni. Ia
sudah pulang duluan lagi. Hanya pesan dari temannya yang aku terima supaya aku
pulang sendiri memakai sepedanya.
Rasa lelah mulai menghampiri diriku.
Aku merasa sangat lelah. Kurebahkan diriku diatas sofa. Sebenarnya apa yang
harus dilakukan Onni hingga akhir – akhir ini ia harus pulag terlambat. Aku
beranjak menuju kamar Onni. Kembali kulihat isi diary onni. Onni sangat pandai
menulis. Kata – katanya menyentuh hati. Namun aku tk tahu persis apa artinya.
Namun kurasa tulisan – tulisan itu ia tujukan untuk kak Yo Hwan. Onni membuat
prakarya yang bagus untuk tugas akhirnya. Sebuah teropong bintang berukuran
kecil yang sangat cantik. Ia sungguh menyukai dunia astronomi.
Namun aku sungguh lelah. Mataku
berkunang – kunang. Sakit kepalaku mulai kambuh. Semakin sakit dan semakin
sakit. Akhirnya aku tak kuat lagi. Aku terjatuh dan mengenai sesuatu. Membuat
semua yang diatas meja jatuh berantakan. Samar – samar kulihat teropong cantik
itu jatuh dan hancur berkeping – keping. Setelah itu pandanganku kabur hilang
sudah bayangan didepanku.
Kubuka mataku perlahan. Aku mencoba
bangkit namun kepalaku masih terasa sakit. Kulihat dari jendela di luar sudah
gelap dan turun salju. Aku sudah berada di atas kasur Onni, kukira Onni sudah
pulang. Barang – barng yang tercecer di lantai sudah bersih. Aku jadi teringat
bagaimana dengan karya Onni yang aku pecahkan. Kucari ia keluar kamar. Di teras
depan ia berusaha memperbaiki teropong itu. Namun kulihat di wajahnya ada luka
lebam. Apa yang terjadi padanya.
“Onni, apa yang terjadi padamu
hingga wajahmu lebam seperti itu?” tanyaku penuh rasa khawatir. Aku tak tau
mengapa aku mengucapkan itu bukannya meminta maaf terlebih dahulu. Onni berdiri
memandangku dengan tatapan yang tidak biasa. Aku menjadi sedikit takut.
“Mengapa kau tidak meminum
obatnya?”katanya kemudian.
“Jongmal mianhaeyo, onni..”
“Sebenarnya apa yang kau perbuat
ini?”katanya dengan nada suara yang mulai meninggi. Aku tidak berkata apapun.
“Mengapa kamu tidak meminum obatnya?
Kau ingin sakitmu tambah parah? Atau sama sekali tidak mau sembuh? Kenapa?
Kenapa tidak menjawab? Aku sudah susah payah membelikanmu obat, apa kau sama
sekali tidak menghargaiku? Seenaknya kamu membuangnya di tempat sampah? Jadi
selama ini kau membohongiku? Iya? Mengapa kau melakukannya?” katanya menjerit
membentakku. Air matanya mulai menetes hingga membuatku menjadi tak karuan. Aku
bingung apa yang harus kukatakan. Aku jadi ikut menangis.
“Mianhae, onni. Jongmal mianhaesso..
. aku tidak bermaksud seperti itu hanya saja aku tidak mau merepotkan Onni. Aku
tidak mau kecanduan obat, sehingga Onni harus terus memberiku obat. Bukankah
obat itu sangat mahal? Aku tidak mau menyusahkanmu..”kataku dan berusaha
menahan air mata yang terus saja ingin keluar.
“Lalu, apa kau tidak berpikir kalau
kau tambah sakit. Siapa yang akan merawatmu? Apa kau tidak pernah memikirkannya?
Lihatlah! Apa yang telah kau perbuat karena kelalaianmu itu! Benda yang susah
payah kubuat menjadi seperti ini? Apa kau tidak merasa kasihan padaku?” kali
ini hatiku menjadi sangat kacau ditambah dinginnya malam ini karena hujan salju
yang terus saja turun.
“Maaf,
Onni. Bukan maksudku seperti itu. Aku tidak sengaja memecahkannya. Akan kubantu
memperbaikinya Onni.” kataku penuh dengan rasa penyesalan karena aku selalu
saja membuat masalah bagi Onni. Aku semakin merasa bersalah karena membuat Onni
menangis seperti ini.
“Lalu mengapa kau juga membaca buku
diaryku? Kau mau mempermalukanku, karena kau sudah tau kalau aku menyukainya
dan ternyata kau yang lebih dekat dengannya?”
“Kalau masalah itu bukan seperti itu
Onni. Benar bukan seperti itu. Aku..” kata – kataku dipotong oleh Onni begitu
saja.
“Lalu seperti apa? Baiklah, kalau
kau seperti itu. Aku sudah lelah denganmu..”Onni masuk meninggalkanku. Tapi ia
mengunci pintunya. Aku berusaha mengetuknya namun tidak juga dibuka. Kupanggil
– panggil dia namun tak ada jawaban juga.
Hawa dingin semakin menusuk tulang salju masih saja turun.
Membuatku menggigil. Semua tubuhku gemetar. Kepalaku tambah sakit dan semakin sakit. Tak
terasa darah mengalir dari hidungku. Kemudian aku serasa melayang. Tidak merasaka
apapun.
Esok hari, salju sudah tidak turun
lagi namun matahari hanya bersinar redup. Belum bisa mencairkan salju yang
berceceran dimana – mana. Tiba – tiba aku sudah berada di tempat yang serba
putih. Selang infuse menusuk di tanganku. Siapa yang membawaku kesini? Tak ada
seseorang disini. Aku bosan dengan tempat seperti ini. Aku mencoba keluar
mencari suasana segar. Benar saja taman belakang kamarku udaranya segar.
Beberapa saat kemudian Yo Hwan Oppa dan Onni datang menghampiriku.
“Yo Hwan Oppa.. Onni…”aku segera
menghampiri Onni dan merengkuhnya. Aku terisak karena rasa bersalahku belum
hilang sama sekali. “Onni maaf kan aku…” aku semakin terisak. Tak kusangka Onni
mengelus punggungku. Aku merasa sangat bahagia. “Onni maaf…”
“Iya. Sudahlah.” katanya terisak
pula.
Yo Hwan oppa cerita padaku kalau
sebenarnya Yuna Onni sangat sayang padaku. Ternyata kemarin onni harus bekerja
paruh waktu dan ketika pulang para penjahat disekitar tempat – tempat itu. Ia
pun berkelahi dengan para penjahat. Yang membuat YoHwan oppa kagum adalah onni
mampu mengalahkan mereka walaupun membuat banyak lebam di tubuhnya.
Kemarin onni pun jadi sakit karena
cuaca yang sedingin itu ditambah pula harus sakit karena diserang para penjahat
itu. Ketika Yohwan oppa datang aku sudah tergeletak di teras dengan hidung yag
penuh darah hingga ia tak berpikir pajang dan langsung membawaku ke rumah
sakit. Sementara aku di sini, ia kembali untuk mencari Onni. Onni tersandar di
belakang pintu dengan badan bersuhu tinggi dan gemetaran. Oppa mengangkatnya ke
kamarnya, mengompresnya hingga panasnya turun. Keesokan harinya, ketika oppa
terbangun, onni berlarian keluar rumah mencariku.
“Nana!.... kau diman?
Nana!”teriaknya sambil berlarian mencariku. Akhirnya oppa memberitahukan kalau
ia membawaku kesini.
“Begitukah, Oppa?”
“ Tentu. Apakah aku terlihat
berbohong?”
“Jongmal kamsahamnida, oppa. Lalu
sampai kapan oppa akan menyembunyikannya dari Onni?”
“Apa?” oppa tersenyum. “Aku tidak
tahu bagaimana harus mengatakannya.”
“ Oppa ini bagaiman? Apa perlu aku
membantumu?”
Kami merencanakan sesuatu untuk Yuna
Onni. Oppa menyulap taman belakang rumah sakit ini menjadi taman yang indah
dengang salju yang masih tersisa disana. Sore ini juga rencana kami akan dilaksanakan. Aku
membawa Onni ke taman. Oppa membawa hadiah besar untuk onni. Aku berharap aku
akan bahagia malam ini.
“Duduklah, Onni.” kupersilahkan onni
duduk. Kulihat Onni begitu takjub atau heran atau bingung aku tak paham. Ia
begitu penasaran untuk apa ia kesini.
“Apa ini? Apakah taman ini diatur
seperti ini?”
“Tentu saja. Aku mempunyai kejutan
untuk Onni.” Yohwan oppa datang membawa
hadiah besar itu.
“Anyeong, Oppa.” sapaku gembira.
“Anyeong, Nana, Yuna..” Yohwan oppa
terlihat sangat tampan. Kulihat onni pun terkesan padanya. Oppa mendekat pada
onni.
“Yuna… ini hadiah untukmu.” Oppa
memberikan hadiah itu pada onni. Namun Onni hanya membukanya dan meraba
teropong pemberian oppa. Kuharap aku dapat melihat senyum onni hari ini.
“Yuna. Kau tidak menyukai hadiah
ini?”
“Tidak.”
“Lalu, kulihat kau sama sekali tidak
senang.”
“Tidak.”
“Tidakkah? Yuna.. kau tau kau adalah
wanita yang paling istimewa yang pernah kutemui. Kau pendiam namun penuh warna
dalm dirimu, kau jarang tertawa bahkan tersenyum, namun kau membuatku terpesona..
kau begitu dewasa menghadapi semuanya. Kau sangat cantik, kau tau aku sangat
menyukaimu.” kata oppa penuh perasaan. Onni hanya terdiam tak memberikan
ekspresi apapun. Hanya memandang oppa.
“Terimakasih.” hanya itu yag terucap
dari mulut onni.
Onni benar – benar tidak memberikan
jawaba yang berarti. Aku mencoba mencuri perhatiannya dengan bermain salju.
Kulempar salju itu kepada oppa. Sebaliknya oppa melemparnya padaku. Aku
melempar pada onni. Hingga kami saling melempar. Akhirnya onni tertawa ketika
oppa terjatuh masuk keselokan setelah kulempar salju. Aku dan oppa sangat
terkesan melihat senyum onni. Aku sangat bahagia bisa melihat senyum onni
kembali.
“Yuna… kau tersenyum? Ayo tersenyum
lagi..”kata oppa menggodanya. Mereka bergembira saling bermain salju. Karena
terlalu bahagianya diriku, aku menitkkan air mata. Aku sangat bahagia bisa
melihat senyum onni lagi. Melihat onni senang. Dan juga melihat onni bersama
pujaan hatinya.
Onni… aku berharap onni jangan
bersedih lagi. Tersenyumlah selalu onni. Aku sangat bahagia melihatmu
tersenyum. Senyummu membawa kebahagiaan. Aku tidak akan membebanimu lagi. Aku
tidak akan menyusahkanmu lagi. Kumohon onni kembali seperti onni dahulu yang
ceria dan penuh tawa…
Onni.. jangan khawatir ada Yo hwan
oppa disampingmu. Aku harap ia bisa member kebahagiaan untukmu. Bisa
menghangatkan kembali hatimu. Onni.. maafkan aku selama ini. Aku telah menyita
kebahagiaanmu. Membuatmu rela bekerja keras untukku. Terima kasih Onni.. kau
adalah kakak terbaik untukku…
Aku terduduk lemah di kursi taman
itu. Sayup – sayup ku dengar canda tawa mereka. Samar – samar kulihat senyum
onni yang masih menghiasi wajahnya sampai saat ini. Sungguh aku sangat bahagia.
Hingga ku seperti melayang tinggi. Semakin lama semakin tinggi hingga kulihat
tubuhku dibawah tersenyum memancarkan kebahagiaan.